a. Masyarakat tradisional
Sistem ekonomi yang mendominasi masyarakat tradisional adalah pertanian, dengan cara-cara bertani yang tradisional. Produktivitas kerja manusia lebih rendah bila dibandingkan dengan tahapan pertumbuhan berikutnya. Masyarakat ini dicirikan oleh struktur hirarkis sehingga mobilitas sosial dan vertikal rendah.
b. Pra-kondisi tinggal landas
Selama tahapan ini, tingkat investasi menjadi lebih tinggi dan hal itu memulai sebuah pembangunan yang dinamis. Model perkembangan ini merupakan hasil revolusi industri. Konsekuensi perubahan ini, yang mencakup juga pada perkembangan pertanian, yaitu tekanan kerja pada sektor-sektor primer berlebihan. Sebuah prasyarat untuk pra-kondisi tinggal landas adalah revolusi industri yang berlangsung dalam satu abad terakhir.
c. Tinggal landas
Tahapan ini dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Karakteristik utama dari pertumbuhan ekonomi ini adalah pertumbuhan dari dalam yang berkelanjutan yang tidak membutuhkan dorongan dari luar. Seperti, industri tekstil di Inggris, beberapa industri dapat mendukung pembangunan. Secara umum “tinggal landas” terjadi dalam dua atau tiga dekade terakhir. Misalnya, di Inggris telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-17 atau di Jerman pada akhir abad ke-17.
d. Menuju kedewasaan
Kedewasaan pembangunan ditandai oleh investasi yang terus-menerus antara 40 hingga 60 persen. Dalam tahap ini mulai bermunculan industri dengan teknologi baru, misalnya industri kimia atau industri listrik. Ini merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial. Pada umumnya, tahapan ini dimulai sekitar 60 tahun setelah tinggal landas. Di Eropa, tahapan ini berlangsung sejak tahun 1900.
e. Era konsumsi tinggi
Ini merupakan tahapan terakhir dari lima tahap model pembangunan Rostow. Pada tahap ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur. Orang-orang yang hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran dan keserbaragaman sekaligus. Menurut Rostow, saat ini masyarakat yang sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat atau Utara.
Inodinesia berada pada tahap “Masyarakat tradisional” alsannya
Status sebagai negara berkembang menandakan pembangunan
Indonesia sampai sekarang belum selesai. Artinya selama Indonesia masih
berproses di dalam pembangunan ini, status negara berkembang ini akan melekat
terus. Pembangunan yang dimaksud bukan pembangunan infrastruktur saja tetapi
juga peningkatan kualitas sumber daya manusia yang ada, dengan tujuan dapat
mensejahterakan diri sendiri, masyarakat, negara, dan dapat bersaing dengan
negara-negara lain. Saya berasumsi kemandekan pembangunan yang ada di Indonesia disebabkan keberanian
Indonesia ikut terjun dalam permainan globalisasi dunia. Atau meminjam istilah
yang digunakan oleh Peter Evans dalam teori Aliansi Tripelnya bahwa pembangunan
Indonesia sekarang berada dalam fase pembangunan
dalam ketergantungan.
Seperti
yang kita ketahui bahwa syarat penting dari kemajuan suatu negara melalui
pembangunan menurut teori Modenisasi adalah adanya syarat ekonomi dan
non-ekonomi. Syarat non-ekonomi yang dimaksud adalah manusia sebagai aktor
dalam pembangunan itu sendiri. Manusia disini adalah sumber daya manusia yang
dimiliki oleh negara tersebut dalam melaksanakan dan mengelola pembangunan
tersebut. Dalam teori Modernisasi yang dikemukan oleh Max Webber, McClelland,
dan Alex Inkeles dan David H. Smith adalah sama-sama berbicara mengenai manusia
sebagai aktor utama dalam pembangunan. Dalam teori Modernisasi dikotomi
masyarakat tradisonal dan modern sangat jelas terlihat, disebutkan bahwa hanya
negara yang masyarakatnya telah menuju ke arah modern yang bisa melaksanakan
pembangunan secara berkesinambungan.
W.W.
Rostow dalam teorinya Lima Tahap Pembangunan bahwa faktor masyarakat Indonesia
sekarang sebagian masih tergolong ke dalam masyarakat tradisional, Arief
Budiman :
Ilmu
pengetahuan pada mayasyarakat ini masih belum banyak dikuasai. Karena itu,
masyarajat semacam ini masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan tentang
kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia dengan demikian tunduk kepada alam,
belum bisa menguasai alam. Akibatnya, produksi masih sangat terbatas.
Masyarakat ini cenderung bersifat statis, dalam arti kemajuan berjalan dengan
sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi. Tidak untuk investasi. Pola dan
tingkat kehidupan generasi kedua pada umumnya hamper sama dengan kehidupan
generasi sebelumnya. (2000:26)
Dikotomi
masyarakat tradisional dan modern ini tentu tidak menjadi penghalang dalam
pembangunan. Khususnya dalam kasus di Indonesia sebagai negara berkembang yang
masih di dalam transisi masyarakat tradisional ke modern. Meskipun sangat
lambat namun pergeseran ini pasti terus bergerak. Seperti yang diutarakan W.W.
Rostow dalam Arief Budiman “pada suatu titik, dia mencapai posisi prakondisi
untuk lepas landas”.
Pergerakan
arus globalisasi seolah-olah tidak memperdulikan negara mana yang sudah modern
atau negara mana yang masih tradisional. Karena hakekatnya adalah bagaiamana
suatu negara dapat bersaing dan menguasai arus globalisasi itu. Maksudnya
tinggi dan rendahnya tingkat produksi suatu negara dalam perdagangan bebas dan
tak terbatas yang ada dapat menjadi indikator maju atau tidak majunya suatu
negara, tentunya dengan industri-industri yang dimilikinya. Arief Budiman
menyebutkan, pada masa lalu dimana Teori Pembagian Kerja Internasional dianut
secara universal, dalam teori ini menyatakan bahwa setiap negara harus
melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keuntungan komparatif yang
dimilikinya. Artinya dalam produksi dan perdangangan negara terbagi atas dua
kutub yang menghasilkan produksi masing-masing, yaitu kutub negara industri dan
kutub negara yang hasil produksinya pertanian.
Karena
adanya spesialisasi ini, terjadilah perdagangan internasional. Perdagangan ini
saling menguntungkan kedua belah pihak. Negara-negara pertanian dapat membeli
barang-barang industri secara lebih murah (daripada memproduksinya sendiri),
dan negara-negara industri dapat membeli hasil-hasil pertanian secara lebih
murah (dibandingkan kalau memproduksinya sendiri). (2000:17)
Spesialisasi
ini tentu ada penyebabnya, negara-negara industri cenderung tidak memiliki
tanah yang subur yang bergerak dibidang pertanian, begitu juga dengan daerah
pertanian yang cenderung memiliki tanah yang subur. Artinya menurut teori ini
dengan adanya kondisi seperti itu dengan menceburkan diri dalam kegiatan
ekonomi dunia adalah kondisi yang baik dalam pembangunan karena akan saling
tergantung dan menguntungkan jika negara-negara bisa saling mengisi kelemahan
yang ada. Tapi pemikiran seperti itu seperti yang kelihatan pada praktiknya,
dimana negara-negara industri cenderung mengeksploitasi negara-negara pertanian
dalam menunjang produksinya. Ini tentu hanya menguntungkan satu pihak saja,
sehingga negara yang tereksploitasi akan mengalami keterbelakangan dan
ketinggalan dalam pembangunan negaranya. Teori Modenisasi menjawab akibat dari
keterbelakangan tersebut adalah akibat dari keterlambatan negara-negara
tersebut melakukan modernisasi dirinya. Tetapi berbeda jawaban dengan Teori
Ketergantungan. Artinya teori Ketergantungan membantah Teori Modernisasi, bahwa
keterbelakangan yang ada bukan disebabkan karena keterlamabatan suatu negara
dalam melakukan modenisasi melainkan karena adanya struktur ekonomi dunia yang
bersifat eksploitatif, dimana yang kuat menghisap yang lemah.
Status
Indonesia sebagai negara berkembang dalam pembangunan tidak bisa dilepaskan
dari pendekatan dua teori ini, yaitu Teori Modernisasi dan Teori
Ketergantungan. Secara teoritis pembangunan Indonesia sekarang yang diungkapkan
oleh W.W. Rostow dalam Teori Lima Tahap Pembangunanya bahwa Indonesia berada
dalam prakondisi untuk lepas landas. Seperti yang diungkapkan oleh Arief
Budiman:
Masyarakat
tradisional, meskipun sangat lambat, terus bergerak. Pada suatu titik, dia
mencapai posisi prakondisi untuk lepas landas. Biasanya, keadaan ini terjadi
karena adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat yang lebih maju.
Perubahan ini tidak dating karena faktor-fkator internal masyarakat tersebut,
karena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk mengubah dirinya
sendiri. Campur tangan dari luar ini menggoncangkan masyarakat tradisional itu.
Di dalamnya mulai berkembang ide pembaharuan.(2000:26)
Sebenarnya
hal ini telah dirintis oleh pemerintahan Orde Baru yaitu keikutsertaan asing
dalam proses pembangunan, terutama Amerika Serikat. Dimana pada masa itu
pemerintah telah mempersiapkan fase Lepas Landas tersebut sebagai fase yang
sangat menentukan menurut W.W. Rostow dalam modernisasi, yaitu dimana tidak
terdapat hambatan-hambatan dalam proses pertumbuhan ekonomi. Namun kasus yang
terjadi justru pemerintahan pada saat itu sebagai pembuka keran dalam
pertumbuhan ekonomi justru menjadi penyebab hancurnya tatanan perekonomian yang
berimplikasi pada hancurnya tatanan masyarakat. Dalam membangun perekonomian
kembali keikutsertaan asing dalam proses pembangunan mulai diperhitungkan, sehingga
pada saat itu bermunculan lembaga-lembaga politik dan sosial sebagai kelompok
penekan pemerintah mengenai kebijakan-kebijakan keikutsertaan asing dalam
pembangunan. Menurut W.W. Rostow sendiri adanya lembaga politik dan sosial yang
mendukung pertumbuhan ekonomi merupakan syarat dari fase Lepas Landas tersebut
disamping syarat lainnya seperti investasi dan industri manufaktur. Seperti
yang diutarakan Arief Budiman :
Yang
dimaksud oleh Rostow misalnya adalah negara yang melindungi kepentingan para
wiraswastawan untuk melakukan akumulasi modal. Atau memberukan iklim politik
yang menguntungkan bagi para industriawan, atau orang asing untuk menanamkan
modalnya. Memang, fungsi dari lembaga-lembag non-ekonomi ini adalah untuk
menunjang petumbuhan ekonomi. Tetapi, sebagai seorang ahli ekonomi, dengan
menyebutkan lembaga-lembaga non-ekonomi ini Rostow telah membuat langkah yang
sangat berarti.(2000:30)
Menurut
teori ini dampak dari hal tersebut jelas dapat menghambat proses pembangunan.
Praktik pembangunan yang ada di Indonesia sekarang mungkin tidak berpijak pada
teori ini, pemerintah tetap melaksanakan pembangunan dengan bekerja sama dengan
asing tanpa terlebih dahulu memperhatikan kondisi masyarakatnya. Seperti yang
diutarakan Rostow dalam tahap pertama dalam Lima Tahap Pembangunan adalah
memodernkan manusianya terlebih dahalu, agar tidak terguncang dalam memasuki
era kemajuan. Sehingga pembangunan hanya dirasakan oleh segelintir orang.
Pembangunan
yang dirasakan segelintir orang itu sesuai dengan teori yang dikemukan oleh
Andre Gunder Frank dalam Teori Ketergantungannya. Kondisi Indonesia sebagai
negara agraris dalam arus globalisasi menurut teori Pembagian Kerja Secara
Internasional adalah sebagai negara yang terbelakang sangat tergantung dengan
negara-negara industri. Menurut Frank di dalam Arief Budiman hubungan dua
negara ini, yang lazim disebutnya sebagai negara-negara metropolis dan negara
satelit, lebih berbicara tentang aspek politik dari hubungan ini, yakni
hubungan politis (dan ekonomi) antara modal asing dengan klas-klas yang
berkuasa di negara-negara satelit.
Dalam
rangka mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, seperti juga pendapat Baran,
kaum borjuasi di negara-negara metropolis bekerjasama dengan pejabat pemerintah
di negara-negara satelit dan kaum borjuasi yang dominan di sana (pada Baran:
tuan tanah dan kaum pedagang). Sebagai akibat kerjasama antara modal asing dan
pemerintah setempat ini, muncullah kebijakan-kebijakan pemerintah yang
menguntungkan modal asing dan borjuasi local, dengan mengorbankan kepentingan
rakyat banyak negara tersebut. Kegiatan ekonomi praktis merupakan kegiatan
ekonomi modal asing yang berlokasi di negara satelit. Fungsi kaum borjuasi
lokal adalah mitra junior yang dipakai sebagai payung politik, serta pemberi
kemudahan bagi beroperasinya kepentingan modal asing tersebut, melalui
kebijakan pemerintah yang dikeluarkan. Kebijakan pemerintah yang didukung oleh
borjuasi lokal ini adalah kebijakan yang menghasilkan keterbelakangan karena
kemakmuran bagi rakyat jelata dinomor-duakan.(2000:67)
Tetapi kondisi Indonesia dalam pembangunan sudah mulai membaik
dalam artian tidak lagi terlalu tergantung dengan negara lain. Indikatornya
adalah mulai tumbuh dan berkembangnya industri sebagai kemungkinan pertumbuhan
ekonomi. Artinya Teori Ketergantungan yang diungkapkan Frank terbantahkan
karena negara-negara satelit memungkinkan melakukan industrialisasi sebagai
pertumbuhan ekonomi, diutarakan Arief Budiman keberhasilan negara-negara
industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura. Seperti
halnya dengan kondisi yang ada di Indonesia sekarang, industri-industri mulai
berkembang tapi yang mendominasi adalah pabrik-pabrik yang masih memiliki
hubungan dengan negara lain, artinya negara lain tersebut masih memperoleh keuntungan
dari poroses industrialisasi negara Indonesia. Sehingga banyak
perusahaan-perusahaan bersifat Multi
National Coorporate (MNC) bermunculan sebagai bentuk bantuan asing
terhadap industrialisasi Indonesia. Kondisi tersebut disebut Peter Evans
sebagai proses Dependent
Developmentatau Pembangunan Dalam Ketergantungan. Yang selanjutnya disebut
Evans sebagai Aliansi
Tripel, yakni kerjasama antara modal asing, pemerintaha di negara
pinggiran yang bersangkutan, dan borjuasi lokal. Proses pembangunan ini sangat relevan
dengan kondisi Indonesia sekarang, dimana kerjasama antara pemodal asing,
pemerintah, dan pengusaha lokal sangat berperan. Menurut Arief Budiman, di sini
pemerintah jelas sangat membutuhkan modal, teknologi, dan akses ke dalam pasar
dunia agar bisa menjalankan pembangunan dan pengusaha lokal dikutsertakan agar
pemerintah lokal tidak menjadi alat modal asing dan pembangunan tidak
sepenuhnya berada di tangan modal asing.
Kerjasama
antara pemerintah lokal dan modal asing bersifat kerjasama ekonomi, dalam arti
bahwa kerjasama tersebut memang diperlukan bila negara itu ingin mendorong
terjadinya proses industrialisasi. Sedangkan kerjasama antara pemerintah dan
borjuasi lokal bersifat politis, dalam arti tujuan kerjasama tersebut terutama
adalah untuk mendapatkan legitimasi politik, supaya pemerintah tersebut dapat
diterima sebagai negara nasional yang memperjuangkan kepentingan bangsa.
(2000:78)
Pembangunan
yang dalam bahasanya memperjuangkan kepentingan bangsa merupakan langkah
pemerintah melindungi operasi perusahaan-perusahaan tersebut secara politis.
Disamping itu ikutsertanya pengusaha lokal dalam kebijakan pemerintaha semacam
ini dapat mendatangkan keuntungan sendiri dan juga keuntungan tersendiri atas
kehadiran perusahaan multinasional. Disamping mendapatkan teknologi juga
mendapatkan keuntungan akses pasar internasional. Oleh karena itu menurut Arief
Budiman, tumbuhlah perusahaan-perusahaan patungan antara pengusaha nasional dan
asing yang sesungguhnya perusahaan tersebut dibiayai dan dioperasikan oleh
perusahaan multinasional raksasa, sehingga pengusaha nasional yang terlibat
tersebut hanyalah mitra junior yang perannya sama sekali tidak berarti.
Demikian Evans menyebutnya Pembangunan Dalam Ketergantungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar